“Dasar munafik”. Di antara kita pasti pernah mendengar lontaran ucapan yang kasar itu. Umpatan tadi umumnya merupakan reaksi standar terhadap rasa kecewa akibat merasa diperlakukan secara tidak jujur oleh orang lain. Di tempat kerja, tidak jarang pemimpin menjadi sasaran umpatan tadi. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk introspeksi: apakah saya orang munafik?
Menurut ajaran agama Islam, orang munafik ditandai dengan tiga ciri: kalau berkata, dia bohong; kalau berjanji, dia ingkar; dan kalau dipercaya, dia khianat. Namun, dalam ilmu psikologi moral, kemunafikan diartikan sebagai gagal untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip yang diproklamirkannya sendiri, terutama ketika prinsip-prinsip tersebut digunakan untuk mengkritik tindakan orang lain. Dengan kata lain, kemunafikan adalah kegagalan seseorang untuk menyelaraskan tindakan dengan prinsip-prinsipnya sendiri.
Ketika seorang pemimpin mengatakan, “Kita harus disiplin”, tetapi datang ke kantor selalu terlambat, dia bisa dikategorikan sebagai munafik. Apabila seorang pemimpin mengatakan, “Kita harus menjaga integritas tanpa batas”, tetapi kemudian terbukti dia korupsi maka dia adalah pemimpin munafik. Kemunafikan adalah penggunaan topeng secara sadar untuk membodohi orang lain agar mendapatkan keuntungan.
Dalam artikel “Hypocritical Leadership”, Art Markman, seorang ahli psikologi moral, menulis: Kata-kata pemimpin tidak banyak menentukan berfungsinya suatu organisasi. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa ucapan pemimpin tidak penting. Orang cenderung lebih memperhatikan tindakan pemimpinnya, meskipun berbeda dengan ucapannya. Ketika pemimpin membuat pernyataan tentang nilai-nilai yang konsisten dengan tindakannya, dia akan menciptakan perasaan percaya.
Di tempat kerja, pemimpin munafik membawa masalah besar. Mengapa? Mereka meminta orang lain untuk melakukan sesuatu yang benar, tetapi dirinya tidak siap untuk melakukan kebenaran tersebut. Memang harus diakui, menjalankan prinsip-prinsip kebenaran tidak mudah karena orang memiliki kelemahan untuk ‘mengambil jalan paling mudah.’ Kemunafikan sejati terjadi ketika pemimpin berusaha tampak berprinsip tanpa menjalankan prinsip yang sesungguhnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar pemimpin membuat pidato besar tentang semua hal hebat yang akan dilakukan, tetapi kemudian tidak melakukan apa-apa. Meskipun demikian, ada sisi positifnya juga. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ketika pemimpin terbuka atas kemunafikan dirinya, akhirnya mereka hanya mengklaim pada tindakan yang berhasil memenuhi janji-janji sebelumnya. Jadi jangan takut untuk mengakui kemunafikan, karena dari situlah lahir kejujuran.
Dalam artikel “Signs of Hypocrites and People They Target”. Peace menulis: Orang munafik ahli dalam menyalahkan orang lain, sementara orang yang berempati ahli dalam menyalahkan diri sendiri. Orang munafik mendorong Anda untuk menyadari kesalahan-kesalahan kecil Anda (atau kesalahan yang tidak pernah ada), sementara secara aktif menolak apa pun kesalahan yang dilakukannya. Mereka lepas tangan dari kesalahan dan Anda diberi beban untuk menanggung. Berikut beberapa ciri perilaku si munafik:
Ikuti ucapan saya, bukan tindakan saya: Tindakan si munafik tidak pernah sejalan dengan kata-kata manisnya. Mereka menerapkan standar tinggi untuk orang lain, tetapi tidak untuk dirinya sendiri.
Peraturan berlaku untuk orang lain, tetapi tidak bagi dirinya: Orang munafik meyakini bahwa dirinya berada di atas hukum, baik secara legal maupun etis. Mereka merasa berhak untuk berperilaku sesukanya, tetapi orang lain harus mematuhi segala aturan.
Selalu salahnya orang lain: Orang munafik mempercayai bahwa semua kesalahan berada di pundak orang lain. Selalu orang lain yang menimbulkan masalah, bahkan ketika masalah yang jelas-jelas menjadi tanggung jawabnya. Bahkan mereka secara sengaja berbohong untuk melemparkan kesalahan pada orang lain.
Kebohongan dan alasan: Orang munafik memiliki seribu alasan untuk mempertahankan kebohongannya. Mereka menghabiskan lebih banyak waktu untuk memaafkan perilakunya sendiri dan tidak pernah bersungguh-sungguh untuk memperbaikinya. Alih-alih meminta maaf atau mengakui kesalahan, mereka mengabaikan kenyataan dan berdebat untuk melakukan pembenaran atas kesalahan yang diperbuatnya.
Ada dua jenis kemunafikan. Pertama adalah menipu atau tidak benar kepada orang lain. kedua, menipu atau tidak benar kepada diri sendiri. Jenis kemunafikan pertama merupakan upaya yang disengaja untuk membodohi seseorang. Jenis kemunafikan kedua sangatlah menyedihkan. Si munafik tidak menyadari bahwa dirinya tidak cukup kuat untuk bertindak dan berperilaku sesuai dengan prinsip-prinsipnya sendiri. Orang munafik menjual kepercayaan untuk keuntungan jangka pendek.
Bagaimana dengan pemimpin munafik? Seorang pemimpin disebut munafik apabila tidak mampu menyatukan kata dengan perbuatan. Namun, dalam praktik, tidak mudah bagi kita untuk serta merta menuduh seorang pemimpin bersikap munafik. Alasannya adalah membutuhkan cukup waktu untuk membuktikan ucapannya bertentangan dengan perbuatannya.
Meskipun demikian, apa pun alasannya, pemimpin yang munafik membahayakan organisasi. Para pemimpin yang berbicara tentang pentingnya kerja keras, tetapi hanya mempromosikan orang-orang di lingkaran dalamnya menyebabkan pegawai mempertanyakan keadilan di tempat kerja. Dan pada akhirnya, ketidaksesuaian ini membuat orang menjauh.
Sebenarnya, menerapkan integritas tidak semudah yang kita duga, terutama dalam kepemimpinan dan tidak semata-mata karena alasan etika. Seorang pemimpin dituntut untuk banyak bicara guna berkomunikasi. Tidak semua ucapannya bisa dijalankan seluruhnya dan dalam keadaan tertentu, tidak bisa berjalan sesuai hati nuraninya.
Repotnya, bawahan umumnya enggan untuk mengingatkan apalagi mengkritik. Sebagai akibatnya, ketidaksadaran tersebut dianggapnya sebagai kebenaran. Perlu diingat, sebagai manusia biasa, pemimpin juga memiliki kecenderungan hanya mendengar sesuatu yang ingin dia dengar.
Tantangannya adalah orang tidak tertalu peduli dengan ucapan pemimpin, mereka lebih menilai tindakan yang dilakukannya. Sekarang pertanyaannya adalah bagaimana agar tindakan kita selaras dengan ucapan? Pertama, pemimpin harus membangun kesadaran yang tinggi. Ucapan-ucapannya harus dipertimbangkan matang-matang dan tindakannya harus diperhitungkan.
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang otentik, pemimpin yang apa adanya. Kepemimpinan otentik berasal dari ‘dari dalam ke luar’. Ketika Anda jujur pada diri Anda sendiri dan secara aktif merintis jalur kepemimpinan sendiri dengan penuh kepercayaan dan integritas, tidak mungkin menjadi pemimpin yang munafik terlepas dari bagaimana orang lain menilai Anda.
“Ada dua jenis kemunafikan. Pertama adalah menipu atau tidak benar kepada orang lain. Kedua, menipu atau tidak benar kepada diri sendiri. Jenis kemunafikan pertama merupakan upaya yang disengaja untuk membodohi seseorang. Jenis kemunafikan kedua sangatlah menyedihkan. Si munafik tidak menyadari bahwa dirinya tidak cukup kuat untuk bertindak dan berperilaku sesuai dengan prinsip-prinsipnya sendiri. Orang munafik menjual kepercayaan untuk keuntungan jangka pendek.
Di tempat kerja, pemimpin munafik membawa masalah besar. Mengapa? Mereka meminta orang lain untuk melakukan sesuatu yang benar, tetapi dirinya tidak siap untuk melakukan kebenaran tersebut.”